BThemes

Pilih Bendera
English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Thursday, August 02, 2007

Kabar Duka dan Bahagia


By Sahlul Fuad

Kabar itu bagai petir, hadir mencambuk punggungku, membuatku terduduk. Ia masuk melalui kuduk, menggerakkan otakku yang mulai bergoyang. Aku pun terhuyung menyangga awan yang hampir hilang. O, inikah bayang-bayang yang selalu datang menjelma siang itu? Sore pun menggerutu bagaikan korek api merobek ujung cerutu.

Dahan-dahan kering di pekarangan rumah seperti mencibirku nyinyir. Anginnya yang gersang, mengibas-kibas tengkukku, menambah penat panas cahaya siang. Debu-debu pun berlarian seperti anak-anak bermain kejar-kejaran. Begitu juga asap kenalpot, wajahnya kusam berbalur oli hitam. Dan aku seperti berada di ujung duri, siap tertusuk nyeri.

“Kau datang kemari menenteng seberkas duka atau bahagia?” Selalu saja pertanyaan itu menciar dari mulut berkumis tipis yang disangga tubuh tambun yang duduk di atas kursi empuk itu. Tatapannya sebongka es batu, membuat jantungku mendegup-degup mengkirik.

Pria itu tak lain abangku, Arga. Ia lahir di kota yang berbeda, dengan ibu yang berbeda pula. Ibunya perempuan tua kaya. Sedang ibuku seorang wanita randa pelayan malam saat masih muda. Ayahku petualang malam gemerlap. Ayah dan ibuku terpisah saat purnama kedelapan setelah kelahiranku. Ayah tiba-tiba lenyap setelah sebulan penuh tak pernah keluar dari kamarnya yang gelap. Entah kemana?

“Jasad ayah ditemukan orang-orang kampung, terseret air sungai Seberang di kota Panjang,” hanya itu yang bisa kusampaikan. Meski di balik benakku tersimpan juga kisah tentang ibu, bukan ibunya.

Wajah kelabunya seketika membiak. Es di matanya mencair membanjiri gunung-gunung kecil yang tumbuh di wajahnya. Kabar yang kutenteng menyalakan sketsa wajah duka sekaligus bahagia. Dukanya bagaikan lembah dalam takterkira, bahagianya samudera raya terkoyak. Rautnya tertekuk. Mulutnya tercebik, tampak lucu. Aku pun segera merisik kantong celanaku, mengeluarkan tisu putih untuk kuserahkan kepada abangku. Perlahan kusodorkan selembar tisu terlipat rapi itu kepadanya. Biar banjirnya mengering. Sontak tanganku terpental ke belakang. Lengannya yang besar menampikku kasar, taksudi menerima belas kasihan.

“Ini semua gara-gara ibumu!!!,” suara seraknya pecah seketika. Leherku tertebas kata-katanya. Kepalaku tertunduk, bagai dahan tertebas pedang, terbebas dari penyangga. Dadaku tersentak, hampir lepas dari kaitnya.

Konon, sebelum aku dibenihkan di rahim Tisna, ibunya mencari-cari ayah, yang dikiranya hilang. Keluarganya perang dan berantakan, kehilangan sosok panglima andalan. Ibunya, Setianingsih, keturunan keraton bangsa Bayang. Lahir dan dibesarkan dalam kebiasaan melawan adat. Bapak-ibunya penentang kebiasaan kaum bangsawan, bangsa Bayang. Sebuah bangsa yang tak pernah memandang orang sebagai lawan. Bangsa yang tak pernah membesar-besarkan permusuhan. Tapi bagi orang tua Setianingsih, kebiasaan ini dianggapnya tak bisa memahami arti keadilan.

“Bangsawan yang aneh,” gerutu ayah Setianingsih suatu saat.

Orang tua Setianingsih minggat ke dari kota Bayang menuju kota Panjang. Mereka beranak-pinak, mendidik anak-anaknya sebagai sosok yang bangsawan, bukan seperti kaum Bayang.

“Kaum bangsawan itu selalu menjaga wibawa. Wibawa bagaikan mahkota yang selalu berada di atas kepala. Membiarkan mahkota disentuh orang lain berarti nilai wibawa jatuh tersungkur. Untuk itu, jangan biarkan wibawa keluarga kalian turun dengan menundukkan kepala kepada orang,” begitulah kata-kata sang ayah kepada Setianingsih suatu ketika. Begitu pula cerita Setianingsih kepada anak-anaknya.

Ayahku, Karna, juga anak pejabat kelas atas. Karna dan Setianingsih bertemu saat mereka sekelas di sekolah lanjutan tingkat atas. Mereka berdua telah terbiasa dengan bergaulan sang orang tua mereka. Orang-orang dengan teman yang sangat terbatas. Begitu juga sepasang muda-mudi itu, mereka takpernah biasa menyapa orang tanpa tahu latar belakangnya.

Dari suara-suara gosip temannya, akhirnya mereka saling tahu latar kisah keluarganya masing-masing. Sejak itulah mereka saling menyapa. Saling tegur, saling perhatian, saling mengunjungi rumah, saling mengenalkannya pada orang tua. Mereka hidup dalam lingkaran kecil yang dibatasi oleh bayang-bayang tembok benteng yang takpernah tampak. Jatuh cintalah mereka, sekaligus bersama keluarganya.

Perkawinan pun terjadi dengan segera setelah lulus sekolah, hingga mereka menjadi keluarga bahagia. Meski dibilang bahagia dengan keluarga, ayah adalah sosok hiburanholik. Pecandu hiburan malam gemerlapan. Sampailah pada suatu malam, ayah begitu terkesan dengan pelayan malam. Seorang wanita randa berlatar belakang malang. Dialah Tisna, ibu yang melahirkan aku. Wanita yang menceraikan suaminya, setelah lama meninggalkan isterinya ke negeri orang. Sementara Tisna hidup dalam kesendirian, tanpa belaian malam, tanpa harapan.

Tisna, di balik tatapan Karna, adalah sebutir mutiara yang pernah hilang. Siut suaranya, mendesing ditelinga Karna menembus relung hatinya yang basah. Suara Tisna, suara yang menaklukkan gemuruh dentum musik dalam gedung tertutup. Aksentuasinya begitu jelas bagai butir-butir gotri yang takpernah leleh menempel pada gotri yang lain. Bahasanya bagaikan beludru menyentuh bulu tubuh, halus tak menyinggung kalbu. Derai tawanya renya, merontokkan debu-debu penumpuk suntuk. Sejak itulah Tisna menyelinap dalam resia hati Karna. Bersemayam tenang di dasar ranjang hidupnya. Lelap, tak terusik aktivitas hari-harinya yang padat.

Saat masalah kantor merundung Karna, ranjang hidupnya berderak-berderak. Pekerjaan kantornya menjadi demit yang mengejar-kerjar ketenangan Karna. Tisna yang terlelap dalam hatinya, tersentak. Tisna bangkit. Wanita randa itu menyeruak dalam bayangan Karna. Maka, larilah Karna ke rumah resia hatinya, Tisna.

Tisna menolak. Karna mendesak. Tisna menyerah dengan syarat. Karna tak bisa mengelak. Keduanya hidup dalam satu rumah petak. Taklama, para tetangga pun berontak. Mereka melabrak serentak. Keduanya tak bisa berpikir barang sejenak. Tisna dan Karna pun diarak. Saat itulah menikahkan keduanya adalah jawaban masyarakat yang paling layak dan bijak.

Karna hilang. Setianingsih kelabakan. Dicarinya Karna kemana-mana. Tapi pencarian sia-sia. Setianingsih hampir saja menyerah. Saat usianya semakin senja, ayah mengajak mengenalkan kami pada keluarga Setianingsih. Wajah perempuan itu bulat bercahaya. Garis-garis ketuaan di wajahnya mengisahkan kewibawaannya. Perempuan itu takmampu menahan gejolak rindunya yang selama ini terus berdengung. Perempuan itu pun takmampu menghapus sejarah yang dipahat Karna dalam persembunyiannya. Setianingsih menyerah pada kisah Karna yang terlampau menyesakkan dadanya.

Perempuan tambun itu tampak risih saat memandang tubuh mungilku. Matanya berkilatan melukis kejijikan. Ibuku hanya terdiam tajam. Setajam pisau dapur, mengiris hati ayah. Sayatan yang selalu dibayangkannya sejak dulu kala, sejak pernikahan tak bisa dielakkan. Tapi ayah sudah siap sepenuh bahagianya.

Naluri bayiku tersentil. Aku meraung-raung. Rumah itu penuh asap kebencian. Ibu pun merasakan demikian. Dadanya juga sesak, dipenuhi asap yang memancar deras di mata-mata yang memandangnya. Ibu ingin segera beranjak, ayah pun diajak. Kami meninggalkan goretan hitam di atas kewibawaan mahkotanya yang jatuh terpelanting.

Sepulang dari rumah keluarga tuanya, ayah taktenang. Simbol kekuasaan yang dibanggakan banyak orang selama ini telah hilang. Ia sadar kekuasaan atas keluarganya selama ini hanyalah bayang-bayang. Ia mensandarkan kekuasaan pada sejumlah uang dan pekerjaan yang menghasilkan kekayaan. Padahal uang dan kekayaan selalu diberikan kepada isterinya tersayang. Lalu sang isteri menggerakkan uang dan kekayaannya untuk mendikte gerak dan langkah keluarga. Pilihan masakannya menentukan warnah lidah keluarganya. Ia juga menentukan sudut-sudut pandang keluarganya dengan tata pajang rumahnya. Begitu juga dalam menentukan selera anak-anaknya, ia yang lebih banyak berpengaruh.

Karna merenung paling relung. Diredupkannya cahaya hidup. Ia membuat bilik kecil di pojok rumah sepetaknya, bersanding ruang dapur. Tak ada sedikitpun lobang. Tak ada sinar merubung tubuhnya. Karna bertapa, entah untuk apa?

“Jangan kau berikan aku makanan, kecuali terdengar rintihan,” pesannya pada ibu.

Hari-hari terus berlari mengejar minggu yang terus menunggu. Sampailah pada satu bulan. Saat purnama merekah cahaya. Suara gaduh dalam bilik ayah tengah malam. Ibu, yang meringkuk di sampingku, terbangun. Namun sebelum sampai di depan pintu bilik itu, suara gaduh sudah berlalu. Ibu melangkah maju, membuka pintu. Bau anyir kayu basah yang direndam menyengat hidung ibu. Tak ada lagi bayang-bayang ayah di situ. Ibu bingung, ia linglung. Pintu depan rumah masih tertutup bisu. Karna lenyap bersama suara gaduh itu. Esok harinya ibu mengaduh ke Setianingsih. Keduanya terseduh-seduh.

Ibu dituduh mengada-ada. Ibu takterima. Dikatakannya Setianingsihlah penyebabnya. Penyebab kegundahan jiwa suami mereka. Setianingsih juga takterima. Justru Tisnalah dikatakan pembawa bencana. Adu cekcok akhirnya takpernah sudah.

Bertahun-tahun lamanya, Karna benar-benar hilang meninggalkan dua keluarga, sampai datang kabar dari tetangga, jasad Karna terapung di sungai Seberang kota Panjang. Dan kini, Arga, anak tertuanya, bicaranya terbata-bata. Duka dan bahagia yang bersarang di dadanya meluap deras hingga pita suaranya takmampu menahannya. Kata-katanya kacau, meracau. Tak jelas lagi mana marah, mana ketawa. Berbaur seperti adonan bumbu gulai, ada garam dan ada pula gula. Entah bagaimana rasanya.

0 comments:

BTricks

 
Powered by Blogger